Senin, 11 Januari 2016
Dewantara Magazine: Aliran Dalam Filsafat Pendidikan
Dewantara Magazine: Aliran Dalam Filsafat Pendidikan: Filsafat merupakan Induk Ilmu. Istilah Filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu philein atau philos yang berarti cinta atau saha...
Selamatan
(Jawa: selametan) adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah
diberi doa oleh modin (orang yang dianggap lebih menguasai ajaran
Islam) sebelum dibagi-bagikan. Tujuan inti upacara selametan adalah
untuk menghormati, mensyukuri, memuja, dan memohon keselamatan kepada
Tuhan melalui makhluk halus, arwah leluhur, atau arwah orang-orang
tertentu. Bagi sebagian besar Jawa Santri, upacara-upacara tradisional
yang diselenggarakan masyarakat Jawa dikategorikan perbuatan musyrik
atau menyekutukan Tuhan.
Beberapa upacara tradisional yang dilakukan dalam hubungannya dengan kematian adalah surtanah, nelung ndina, mitung ndina, matang puluh dina, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu, dan nyadran. Meskipun secara kuantitatif tidak tercatat, para santri memandang upacara-upacara tradisional tersebut sebagai perbuatan musyrik.
Sikap memvonis seperti itu tentu saja sangat tidak bijaksana, karena menimbulkan perasaan saling curiga bahkan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Ketidakmampuan memahami pesan esensial (essential message) upacara-upacara tradisonal yang dilaksanakan masyarakat di sekitarnya, tampaknya menjadi penyebab munculnya sikap vonis musyrik terhadap para pelakunya.
Mengacu pada Serat Kadilangu dan Serat Walisanga, mengemukakan bahwa :
Makhluk hidup terdiri dari tubuh jasmaninya (selira) dan semua keinginan yang ada pada dirinya (kamarupa). Jasmani dapat hidup dan bergerak karena ada atma (semangat), kama (keinginan), dan prana (nafsu). Berbeda dengan makhluk lain, manusia juga mempunyai manas (akal), menasa (kecerdasan), dan jiwa.
Apabila manusia mati, atma, kama, prana, manas, dan jiwa meninggalkan jasmaninya pada hari ke-3 setelah kematiannya.
Upacara tradisonal yang berhubungan dengan kematian yang dilaksanakan masyarakat Jawa adalah:
Surtanah
Poerwadarminta mengemukakan bahwa surtanah berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘ngesur tanah’ yang berarti melakukan selamatan terhadap orang yang baru saja meninggal dunia. Dilaksanakan pada hari pemakaman jenasah setelah para pelayat pulang dari kuburan.
Ubarampe atau perlengkapan dan materi dalam upacara surtanah adalah:
Nelung ndina (3 Hari)
Upacara ini dilaksanakan tepat tiga (Jawa: telu) hari setelah kematian seseorang. Materi untuk selamatan hampir sama dengan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk-pauknya. Pada upacara ini ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda berisi nasi putih dan nasi punar (kuning). Penggunaan sesajen sama dengan surtanah.
Mitung ndina (7 hari)
Upacara ini dilaksanakan tepat tujuh (Jawa: pitu) hari setelah kematian seseorang. Materi untuk selamatan hampir sama dengan surtanah, tetapi ditambah dengan apem ketan kolak. Penggunaan sesajen masih sama dengan kedua selamatan di atas.
Matang puluh dina (40 hari)
Upacara selamatan ini dilaksanakan tepat empat puluh hari (Jawa: patang puluh) setelah kematian seseorang. Materi atau perlengkapan untuk selamatan hampir sama dengan mitung ndina. Hanya saja materi berupa ingkung ayam diusahakan dari ayam berbulu putih mulus. Sulitnya mendapatkan ayam berbulu putih mulus menyebabkan masyarakat mengganti dengan ayam berbulu biasa. Penggunaan sesajen sama dengan surtanah.
- Nyatus dina (100 hari)
Dilaksanakan tepat seratus hari (Jawa: satus) setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.
- Mendhak pisan (tahun pertama)
Dilaksanakan tepat setahun setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.
- Mendhak pindho (tahun kedua)
Dilaksanakan tepat dua tahun setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.
- Nyewu dina (100 hari/tahun ketiga)
Selamatan nyewu dina atau nyewu dilaksanakan seribu (Jawa: sewu) hari sejak kematian seseorang. Selamatan ini dilakukan besar-besaran, sebab dianggap yang terakhir kalinya. Materi atau perlengkapan sama dengan selamatan terdahulu, tetapi ditambah dengan memotong kambing, merpati, dan bebek, di samping juga ayam. Sebelum disembelih, kambing dimandikan dengan air bunga setaman, dikeramasi dengan air lada atau mangir, diselimuti kafan, dikalungi rangkaian bunga, dan diberi makan daun sirih. Selain pemotongan hewan-hewan tersebut, juga dilakukan pelepasan sepasang merpati sesudah kenduri dan pembacaan ayat-ayat Al Quran.
Selain sesajen seperti selamatan terdahulu, masih ditambah sesajen berupa: klasa bangka (tikar), benang lawe, jodhog (tempat menaruh lampu senthir/lampu minyak tanah), lampu dengan minyak goreng, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, kemenyan, pisang raja, gula kelapa, kelapa utuh, beras, benang jahit, jarum, dan bunga.
Pada selamatan nyewu ini biasanya juga dilaksanakan pemasangan kijing atau nisan, sehingga upacara selamatan ini juga disebut selamatan ngijing.
Upacara-upacara selamatan tersebut dilakukan kepada setiap orang yang meninggal, kecuali yang meninggal bayi yang belum umur (trek), artinya belum saatnya lahir. Dalam keadaan seperti ini, segala bentuk upacara seperti di atas dilaksanakan sekaligus pada selamatan surtanah. Pemakaman dilakukan di pekarangan rumah, tidak di makam umum, agar perawatan mudah dan tidak terlupakan. Bayi trek bila dipelihara dengan baik diyakini sangat membantu orang tua yang ditinggalkan, misalnya menenteramkan keluarga, membantu mencari nafkah, dan sebagainya.
Bahkan bagi orang tuanya, perlakuan bayi trek disamakan dengan perlakuan terhadap anak yang masih hidup. Selain kuburannya dirawat dengan baik, pada malam-malam tertentu dikirim doa dan bunga, kemenyan, sesajen, dan baju baru. Roh bayi trek dapat dimintai bantuan atau pertolongan oleh orang tuanya jika sedang menghadapi kesulitan.
Nyadran
Kegiatan lain dalam hal perawatan kuburan dan penghormatan terhadap roh orang mati atau roh leluhur adalah selamatan nyadran. Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau sadranan yang masih populer di kalangan masyarakat Jawa. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban (kalender Hijriyah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa Ramadhan.
Nyadran dilangsungkan dengan selamatan di rumah dan di makam. Materinya adalah nasi asahan beserta lauk-pauknya, ditambah apem dan perlengkapannya berupa tukon pasar.
Maksud selamatan ini adalah mengirim doa dan minta berkah kepada para arwah leluhur. Hal itu tercermin dari doa yang disampaikan pada saat selamatan yang berbunyi:
“Kintun pandonga dhateng leluhur kula saking jaler lan saking estri, ingkang tebih lan ingkang celak, ingkang kerawatan lan ingkang mboten kerawatan. Sedaya wau kula suwun berkah pangestunipun wilujeng.”
(Kirim doa kepada para leluhur, baik dari lelaki maupun perempuan, yang dekat maupun yang jauh, yang terawat maupun yang tidak terawat. Semua tadi kami minta berkah dan restunya.)
Masyarakat percaya pada bulan Ruwah para arwah leluhur mempunyai kesempatan tilik kubur (berkunjung ke makamnya) dan tilik omah (berkunjung ke rumah). Karenanya, banyak orang tua melarang anaknya kencing di halaman agar tidak sampai mengencingi arwah yang sedang tilik omah tersebut.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
* Dikutip dari artikel pada "Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.56"
Oleh: Zulkarnaen Syri Lokesywara
Sumber : http://dewantaramagazine.blogspot.co.id/2015/03/memahami-essential-messages-upacara.html
Beberapa upacara tradisional yang dilakukan dalam hubungannya dengan kematian adalah surtanah, nelung ndina, mitung ndina, matang puluh dina, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu, dan nyadran. Meskipun secara kuantitatif tidak tercatat, para santri memandang upacara-upacara tradisional tersebut sebagai perbuatan musyrik.
Sikap memvonis seperti itu tentu saja sangat tidak bijaksana, karena menimbulkan perasaan saling curiga bahkan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Ketidakmampuan memahami pesan esensial (essential message) upacara-upacara tradisonal yang dilaksanakan masyarakat di sekitarnya, tampaknya menjadi penyebab munculnya sikap vonis musyrik terhadap para pelakunya.
Mengacu pada Serat Kadilangu dan Serat Walisanga, mengemukakan bahwa :
Makhluk hidup terdiri dari tubuh jasmaninya (selira) dan semua keinginan yang ada pada dirinya (kamarupa). Jasmani dapat hidup dan bergerak karena ada atma (semangat), kama (keinginan), dan prana (nafsu). Berbeda dengan makhluk lain, manusia juga mempunyai manas (akal), menasa (kecerdasan), dan jiwa.
Apabila manusia mati, atma, kama, prana, manas, dan jiwa meninggalkan jasmaninya pada hari ke-3 setelah kematiannya.
- Pada hari ke-7, rohnya masih memiliki keinginan, dibimbing oleh malaikat ke kamaloka menuju ke gerbang melewati jembatan shirotal mustakim yang lebarnya sepertujuh belah rambut wanita. Bila tidak berhasil melewati, ia akan jatuh ke neraka dan jika terlalu banyak dosa ia akan terperosok lebih dalam lagi ke bumi kapindho (bumi kedua) yang berisi magma pijar. Dalam waktu lama ia akan dilahirkan kembali sebagai seekor binatang. Kemudian masuk bumi ketiga dan dilahirkan kembali sebagai tanaman, dan akhirnya dilahirkan kembali sebagai manusia agar hidup lebih baik dan berguna. Roh akan berada di kamaloka sampai hari ke-40.
- Pada hari ke-100 masuk ke dewaka (surga pertama), kemudian mati ke dua kalinya. Tubuh halusnya yang berisikan sisa-sisa nafsu dan keinginan ditinggalkan. Apabila keluarga yang ditinggalkan masih memanggilnya, maka roh menjadi lelembut (makhluk halus) dan berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia dan menetap di sekitar kaum keluarga sebagai roh penjaga. Ia akan bersemayam di pohon besar, batu, gua, atau daerah perbukitan. Roh yang berhasil masuk surga pertama akan menjadi lebih murni.
- Pada hari ke-1000 ia akan masuk surga kedua. Proses ini akan berulang hingga roh masuk ke surga ke tujuh dan mencapai moksa (kesempurnaan).
Upacara tradisonal yang berhubungan dengan kematian yang dilaksanakan masyarakat Jawa adalah:
Surtanah
Poerwadarminta mengemukakan bahwa surtanah berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘ngesur tanah’ yang berarti melakukan selamatan terhadap orang yang baru saja meninggal dunia. Dilaksanakan pada hari pemakaman jenasah setelah para pelayat pulang dari kuburan.
Ubarampe atau perlengkapan dan materi dalam upacara surtanah adalah:
- Sega golong (nasi dibentuk bola),
- Sega asahan (nasi putih yang ditaruh di atas nyiru),
- Tumpeng pungkur (nasi dibentuk gunungan/kerucut),
- Sega wudhuk (nasi gurih),
- Ingkung (ayam jantan masak utuh),
- Tumpeng wajar (nasi putih tanpa lauk berbentuk kerucut),
- Kembang rasulan (bunga Rosul yang terdiri dari mawar, melati, dan kenanga),
- Bubur abang putih (bubur yang diberi cairan gula kelapa dan bubur biasa),
- Tukon pasar (materi selamatan berupa segala macam buah),
- Wajib ( uang yang diberikan kepada pemimpin upacara), dan
- Dupa (kemenyan) yang dibakar sebelum upacara dilangsungkan.
Nelung ndina (3 Hari)
Upacara ini dilaksanakan tepat tiga (Jawa: telu) hari setelah kematian seseorang. Materi untuk selamatan hampir sama dengan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk-pauknya. Pada upacara ini ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda berisi nasi putih dan nasi punar (kuning). Penggunaan sesajen sama dengan surtanah.
Mitung ndina (7 hari)
Upacara ini dilaksanakan tepat tujuh (Jawa: pitu) hari setelah kematian seseorang. Materi untuk selamatan hampir sama dengan surtanah, tetapi ditambah dengan apem ketan kolak. Penggunaan sesajen masih sama dengan kedua selamatan di atas.
Matang puluh dina (40 hari)
Upacara selamatan ini dilaksanakan tepat empat puluh hari (Jawa: patang puluh) setelah kematian seseorang. Materi atau perlengkapan untuk selamatan hampir sama dengan mitung ndina. Hanya saja materi berupa ingkung ayam diusahakan dari ayam berbulu putih mulus. Sulitnya mendapatkan ayam berbulu putih mulus menyebabkan masyarakat mengganti dengan ayam berbulu biasa. Penggunaan sesajen sama dengan surtanah.
- Nyatus dina (100 hari)
Dilaksanakan tepat seratus hari (Jawa: satus) setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.
- Mendhak pisan (tahun pertama)
Dilaksanakan tepat setahun setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.
- Mendhak pindho (tahun kedua)
Dilaksanakan tepat dua tahun setelah kematian seseorang. Materi dan sesajen untuk selamatan sama dengan selamatan yang telah dilaksanakan.
- Nyewu dina (100 hari/tahun ketiga)
Selamatan nyewu dina atau nyewu dilaksanakan seribu (Jawa: sewu) hari sejak kematian seseorang. Selamatan ini dilakukan besar-besaran, sebab dianggap yang terakhir kalinya. Materi atau perlengkapan sama dengan selamatan terdahulu, tetapi ditambah dengan memotong kambing, merpati, dan bebek, di samping juga ayam. Sebelum disembelih, kambing dimandikan dengan air bunga setaman, dikeramasi dengan air lada atau mangir, diselimuti kafan, dikalungi rangkaian bunga, dan diberi makan daun sirih. Selain pemotongan hewan-hewan tersebut, juga dilakukan pelepasan sepasang merpati sesudah kenduri dan pembacaan ayat-ayat Al Quran.
Selain sesajen seperti selamatan terdahulu, masih ditambah sesajen berupa: klasa bangka (tikar), benang lawe, jodhog (tempat menaruh lampu senthir/lampu minyak tanah), lampu dengan minyak goreng, sisir, minyak wangi, cermin, kapas, kemenyan, pisang raja, gula kelapa, kelapa utuh, beras, benang jahit, jarum, dan bunga.
Pada selamatan nyewu ini biasanya juga dilaksanakan pemasangan kijing atau nisan, sehingga upacara selamatan ini juga disebut selamatan ngijing.
Upacara-upacara selamatan tersebut dilakukan kepada setiap orang yang meninggal, kecuali yang meninggal bayi yang belum umur (trek), artinya belum saatnya lahir. Dalam keadaan seperti ini, segala bentuk upacara seperti di atas dilaksanakan sekaligus pada selamatan surtanah. Pemakaman dilakukan di pekarangan rumah, tidak di makam umum, agar perawatan mudah dan tidak terlupakan. Bayi trek bila dipelihara dengan baik diyakini sangat membantu orang tua yang ditinggalkan, misalnya menenteramkan keluarga, membantu mencari nafkah, dan sebagainya.
Bahkan bagi orang tuanya, perlakuan bayi trek disamakan dengan perlakuan terhadap anak yang masih hidup. Selain kuburannya dirawat dengan baik, pada malam-malam tertentu dikirim doa dan bunga, kemenyan, sesajen, dan baju baru. Roh bayi trek dapat dimintai bantuan atau pertolongan oleh orang tuanya jika sedang menghadapi kesulitan.
Nyadran
Kegiatan lain dalam hal perawatan kuburan dan penghormatan terhadap roh orang mati atau roh leluhur adalah selamatan nyadran. Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau sadranan yang masih populer di kalangan masyarakat Jawa. Upacara ini dilaksanakan pada bulan Ruwah (kalender Jawa) atau Sya’ban (kalender Hijriyah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa Ramadhan.
Nyadran dilangsungkan dengan selamatan di rumah dan di makam. Materinya adalah nasi asahan beserta lauk-pauknya, ditambah apem dan perlengkapannya berupa tukon pasar.
Maksud selamatan ini adalah mengirim doa dan minta berkah kepada para arwah leluhur. Hal itu tercermin dari doa yang disampaikan pada saat selamatan yang berbunyi:
“Kintun pandonga dhateng leluhur kula saking jaler lan saking estri, ingkang tebih lan ingkang celak, ingkang kerawatan lan ingkang mboten kerawatan. Sedaya wau kula suwun berkah pangestunipun wilujeng.”
(Kirim doa kepada para leluhur, baik dari lelaki maupun perempuan, yang dekat maupun yang jauh, yang terawat maupun yang tidak terawat. Semua tadi kami minta berkah dan restunya.)
Masyarakat percaya pada bulan Ruwah para arwah leluhur mempunyai kesempatan tilik kubur (berkunjung ke makamnya) dan tilik omah (berkunjung ke rumah). Karenanya, banyak orang tua melarang anaknya kencing di halaman agar tidak sampai mengencingi arwah yang sedang tilik omah tersebut.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
* Dikutip dari artikel pada "Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.56"
Oleh: Zulkarnaen Syri Lokesywara
Sumber : http://dewantaramagazine.blogspot.co.id/2015/03/memahami-essential-messages-upacara.html
agi si penelurus cerita rakyat, cerita kuno Kebokicak yang telah
berkembang menjadi cerita tutur di wilayah Jombang bukanlah perkara
gampang untuk dibabar-tuliskan. Satu sisi “sang cerita” telah menempat
terutama pada ingatan orang-orang sepuh, dan hal itu sangat memungkinkan
untuk terceritakan kembali pada orang lain, pada generasi selanjutnya.
Satu kesulitan lain adalah cerita tersebut hingga saat ini tak
tertuliskan, atau seandainya sudah ada yang menuliskannya, kita belum
mengetahuinya. Artinya dalam konteks filologis adakah manuskrip ihwal
cerita Kebokicak nyata-nyata tertemukan dan memiliki jarak masa tertentu
sebagaimana yang secara akademis memenuhi persyaratan sebagai sumber
keilmuan yang otentik dan akurat, misalnya naskah tersebut telah diserat
oleh seorang pujangga di masa lampau, mungkin masanya bisa seratusan
tahun silam, dan karenanya jika memang itu ada dapatlah dijadikan
rujukan.
Maka yang fiksi dan yang fakta atas nama sebuah cerita, untuk
sementara, kita posisikan dulu cerita Kebokicak itu di tengah-tengahnya.
Boleh jadi cerita ini adalah dongeng, dan dongeng merupakan jalinan
pengisahan dari masa ke masa yang berfungsi sebagai klangenan atau
penandaan dari ritus sosial dan muasal lokus yang melatarinya.
Terkait itu, satu gerakan literasi dalam bentuk pelacakan cerita
Kebokicak yang dilakukan mahasiswa STKIP PGRI Jombang angkatan 2007,
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, patut diapresiasi. Mereka melakukan
penelusuran ke berbagai narasumber di Jombang, untuk selanjutnya
dibukukan dengan judul Kebokicak Karang Kejambon (Saduran Cerita Rakyat Jombang).
Ada 13 versi cerita Kebokicak di sini yang tidak mengisahkan secara keseluruhan, namun dalam bentuk fragmen atau petilan: 1. Kebokicak Karang Kejambon
(Versi Ketoprak). Narasumber: Ki Waras, usia 56 tahun, pimpinan
ketoprak dan campursari dari Kedung Doro, Kecamatan Tembelang. 2. Hitam Tidak Menutup Putih
(Kemenangan Surontanu), narasumber: Mohammad Kosim, 80 tahun, pemain
ketoprak dari Dusun Tengaran RT 1/RW 1, Desa Tengaran, Kecamatan
Peterongan. 3. Desa Randu Watang. Narasumber: Ponari, 58 tahun, tokoh masyarakat dari Dusun Dero, Desa Kedung Betik, Kecamatan Kesamben. 4. Mati Satu, Harus Mati Semua
(Mukti Siji Mukti Kabeh). Narasumber: Ki Harya Yahmad Hadi Pranoto, 58
tahun, seorang dukun dari Desa Brangkal, Kecamatan Bandar Kedung Mulyo.
5. Relikui Kebokicak Mosaik Jombang. Narasumber: Pariyadi, 64
tahun, seniman ludruk dari Gudo, dan Mbah Nur, 66 tahun, seorang guru
spiritual dan pemuka agama Hindu dari Jl. Kandangan 24, Dusun Ngepeh,
Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro. 6. Telatah Surontanu. Narasumber: Purwito, 57 tahun, ia mengaku sebagai keturunan ke-4 Surontanu yang tinggal di Dusun Sumonyono, Desa Cukir. 7. Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon). Narasumber: Sukono, 58 tahun, Jl. Mojoanyar Gang 7, Bareng. 8. Banteng Tracak Kencana. Narasumber: Jamadi, 80 tahun, Desa Sumber Nangka, Kecamatan Tunggorono. 9. Legenda Jombang
(Pertarungan Kebokicak Surontanu). Narasumber: Ngaidi Wibowo, 63 tahun,
lahir 10 Oktober 1947, Desa Dukuh Klopo, Kecamatan Peterongan. 10. Kebokicak Karang Kejambon. 11. Napak Tilas Joko Tulus. Narasumber: Abdul Hafidz, 80 tahun, tokoh masyarakat Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang. 12. Perebutan Kidang Tracak Kencana.
Narasumber: Katijan, 70 tahun, ia adalah seorang dalang, guru karawitan
dan guru sinden, tinggal di Jombatan Blok O No. 19, Kecamatan Jombang.
13. Dewi Mangurin dan Joko Tulus. Narasumber: Saleh, 81 tahun, di Desa Dapur Kejambon, Kecamatan Jombang.
Dari semua petilan cerita Kebokicak di dalam buku tersebut
menghadirkan corak yang berbeda-beda. Ada beberapa yang singkron. Ada
juga yang untuk sementara perlu diperjelas manakah pakem atau cerita
baku dari keseluruhan cerita Kebokicak. Sebab tak ada otoritas yang bisa
dikatakan ini yang sah atau pun itu yang pakem dari kisah Kebokicak
ini. Kiranya perlu pula upaya penulisan cerita ini terus dieksplorasi
lebih dalam, konprehensif, dan bagaimana memilih informan yang
benar-benar tepat yang selanjutnya data-data wawancara tersebut paling
tidak mendekati pada semacam keselarasan dan “satu arus” yang merujuk
pada kisahan Kebokicak yang akurat dan yang sebenarnya. Ini menjadi
penting untuk pengembangan penelitian ke depan.
Jika merujuk pada penelitian skripsi yang dilakukan oleh Puspita Indriani, mahasiwa Unesa, dengan judul Pengaruh Cerita Rakyat Kebokicak Karang Kejambon Terhadap Masyarakat Pendukungnya
(2003), menyebutkan bahwa versi cerita Kebokicak dibagi menjadi dua.
Pertama versi abangan, dan yang kedua versi santri. Versi pertama
menitik-beratkan pada masa kerajaan Majapahit saat rajanya adalah
Brawijaya V. Yang kedua, versi santri yang menyiratkan masa Brawijaya V
juga, namun anasir pesantren di daerah yang kini disebut Tebuireng itu
dimunculkan dan menjadi lokus sentral.
Selain kita bisa membaca dan menilai dari 13 cerita tersebut, saya
ingin melongok sisi lain dalam versi santri serta selubung silsilahnya
dan cerita Kebokicak yang sudah pernah ditulis dalam bahasa Jombangan
(ludrukan) oleh tokoh ludruk Jombang, Ngaidi Wibowo.
Pada kisaran akhir 2008, saya melakukan wawancara
perihal cerita Kebokicak dengan Kiai Hafidz dari Dapur Kejambon. Tuturan
kiai ini saya susun demikian:
Tersebutlah sosok yang bernama Ki Nur Khotib, ia adalah menantu
Kebokicak yang kala itu menjadi demang Karang Kejambon, yang ditunjuk
oleh kerajaan Majapahit. Istri Ki Nur Khotib adalah putri Kebokicak,
namanya Wandan Manguri. Wandan Manguri ini merupakan cucu dari Brawijaya
V dari istri Wandan Kuning. Wandan Kuning memiliki 2 anak. Yang pertama
yakni Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng. Yang kedua adalah Wandan
Wangi. Semenjak Wandan Kuning mengandung jabang bayi berupa Wandan
Wangi, Brawijaya V sebagai suaminya menyerahkan istrinya tersebut kepada
Mbah Pranggan di daerah Karang Kejambon. Ketika Wandan Wangi dewasa
dikawinkanlah ia dengan Demang Kebokicak. Maka, Kebokicak merupakan
menantu dari Brawijaya V. Mbah Pranggan adalah bapak tiri Wandan Wangi,
dan Kebokicak adalah mantu tirinya (silsilah ini atas anjuran Kiai
Hafidz perlu ditaskhihkan kepada Kiai Jamal di Ponpes Al-Mihibbin Tambak
Beras Jombang, di mana beliau dianggap memiliki rekam-jejak yang baik
terkait itu).
Kiai Muchtar konon berasal dari Banyuarang, Ngoro. Ia memiliki
putra bernama Kiai Nur Khotib. Kiai Nur Khotib kemudian berhijrah ke
Gembong Lekok, Pasuruan, dan dimakamkan di sana. Ia memiliki 2 putra:
pertama Mbah Suropati atau Mbah Angklung. Yang kedua adalah Mbah Ali.
Mbah Ali memiliki putri bernama Rubaniyah yang diperistri oleh santri
pondok pesantren Mimbar dari Sambong yang bernama Nuruddin asal Sendang
Duwur, Lamongan. Nuruddin dimakamkan di Desa Banggle, dan nama makamnya
dikenal dengan sebutan Makam Mbah Surgi. Putra kedua Mbah Ali adalah
Kiai Umar di Kapos. Mbah Ali wafat di Mekah sewaktu menjalankan ibadah
haji bersama 4 putranya. Pulang dari Mekah tinggal 3 orang anak: Mbah
Kiai Zen, Mbah Kiai Idris, dan Mbah Kiai Abdullah. Kiai Ali konon
merupakan syekh pertama dari Jawa Timur. Menurut cerita tersebar, putra
Kiai Umar adalah Kiai Farhan, dan Kiai Farhan adalah kakek Kiai Hafidz.
Baiklah, sekarang, saya coba memasuki cerita Kebokicak
dari versi ludruk yang pernah dipentaskan dan disutradarai oleh Kiai
Farhan, Pak Ngaidi Wibowo, dan beberapa sutradara ludruk lainnya pada
tahun 1970-an. Pada pengujung 2008, saya melakukan wawancara untuk
penulisan Sejarah Ludruk Jombang, saya menyambangi Carik Karsono di
Dusun Jalinan. Ia adalah tokoh gaek Ludruk Kopasgat yang pernah jaya di
tahun 1980-an. Sudah lama ia meludruk bahkan sebelum Gestok 1965. Ketika
itu ia sempat bercerita sekelumit tentang lakon Kebokicak yang pernah
diludrukkan. Pada dan dari orang lain, adalah Agus Gundul, ia tak lain
adalah putra Carik Karsono. Pada malam yang sama, setelah saya tak bisa
secara lengkap mewawancarai Carik Karsono karena sesuatu hal, maka saya
teruskan ngobrol “saut manuk” (tentang apa saja) dengan Agus Gundul. Ia
menceritakan bahwa bapaknya memiliki manuskrip Kebokicak atau sebut saja
serat Kebokicak. Nama penyeratnya tidak diketahui. Carik Karsono tidak
pernah menunjukkan padanya, hanya menceritakannya. “Serat” itu
dianggapnya gaib, karena kadang muncul, kadang menghilang sendiri. Jadi,
ada kesan klenik dari potongan cerita ini. Tapi abaikan saja untuk
sementara.
Mari kita tengok apa yang ditulis Ngaidi Wibowo sebagai sutradara
ludruk yang menurutnya pernah sampai 2 atau 3 kali mementaskan lakon
Kebokicak dan ternyata berhasil. Mitos membuktikan, bahwa ada beberapa
grup ludruk yang tidak mencukupi syarat-syarat sesajen saat
memanggungkan lakon Kebokicak, maka terkenalah mereka bala atau bencana.
Jelas tanggapan ludrukannya bubrah, karena ada 1 atau 2 penonton atau
pemainnya yang kerasukan entah oleh dedemit atau arwah Kebokicak.
Nah, Pak Ngaidi ini kira-kira mulai menulis sekitar tahun 2000-an.
Terbilang sangat jarang orang ludruk mampu meluangkan waktu untuk
menulis, selain rendahnya tingkat pendidikan mereka. Cerita Kebokicak
yang ditulisnya tersebut terdiri dari 31 adegan. Adegan di sini
dimaksudkan sebagai tulisan lakon ludruk yang dinarasikan, bukan yang
telah dihafal terutama maupun oleh para pemainnya, yang kemudian antar
pemain ini sudah tahu spelan (urutan dialog apa dan dengan siapa)-nya. Saya cuplikkan 2 adegan dari naskah Pak Ngaidi:
Adegan I
Amiluhur Lembu Peteng nrimo wisik soko Hang Murbeng Dumadi. Sak
gugure Tumenggung Surono ilang ono Brantas Mojopait perbatasan Kediri.
Koyo-koyo Mojopait sisih kulon kocak lan goncang. Akeh poro penduduk
sing podo wedi lan ngungsi. Lan wisik sing ditrimo Lembu Peteng iku
nyoto tur bener, ning nyatane sak wetane Brantas Mojopait ono sorot
utowo ndaru rutuh kang warnane ijo lan abang tumibo ono alas Mojopait
kang sisih kulon. Mulo Gusti Lembu Peteng nugasno lan mertopo ono nggone
ndaru kang tumibo ono ing kunu.
Adegan 19
Ladang. Surontanu bebedak bawa Banteng Tracak Kencono ono
alas kidul wilayah Mojopait ing kunu ketemu Kebokicak sing dikawal poro
prajurit Mojopait. Terus Kebokicak ndangu adine Surontanu Adiku Di
Surontanu suweh anggonku ngupadi marang kuwe Di sak metune soko dempokan
aku kaprentah Bopo Guru Sopoyono toleki kuwe Di mung butue aku diutus
nyuwun utowo njaluk ameng-amengmu yo Banteng Tracak Kencono minongko
kanggo kekah lan digawe tumbal ono Dempok Cukir yo Tebuireng.
Critane ganti. Surontanu nyambung. Kakangmas Kebokicak
kulo mboten bakal mulungaken Banteng Tracak Kencono ten sinten kemawon
senajan toh Bopo Guru piambak engkang nyuwun. Sebab kulo sampun sumpah
kaliyan Banteng Tracak Kencono mati Surontanu mati Banteng Tracak
Kencono saboyo urip lan saboyo pati. Mulo Kakangmas Kebokicak kulo
mboten saget pisah serambut kalian ameng-ameng kulo.
Kebokicak ndangak, langsung nyambung. Adi Surontanu
berarti kuwe ora mesakake kawulo ing dempokane Bopo Guru Sopoyono. Mulo
Adimas Surontanu, Banteng Tracak Kencono iku kewan wis jamak digawe
lumprah nek kenek digawe kekah ono dempok Tebuireng kunu lan kanggo
tumbale pedempokane kuwe lan aku. Mulo Adi Surontanu oleh tak jaluk ora
oleh tetep tak suwun Banteng Tracak Kencono.
Surontanu ngadek sambil nyandak keluane Banteng Tracak Kencono, baru nyambung. Kakangmas Kebokicak ing ngarep aku wis ngomong sopo wae njaluk banteng ameng-amengku iki ora bakal tak wulungake.
Kebokicak ngadek samujajar marang adine Surontanu sambil ngomong keras sampek dadekno geger.
Hee, adiku Surontanu jelas kuwe ora mesak ake sedulurmu seng ono
padempokan kono. Mulo dino iki Banteng Tracak Kencono oleh tak jaluk ora
oleh bakal tak rebut. Akhirnya geger Surontanu lan Kebokicak. Surontanu
kasoran yudo Banteng Tracak Kencono disaut digowo mlayu lan playune
Surontanu ngalor nyasak tanduran parine wong karang perdesan. Perjalanan
Kebokicak mbujung lakune Surontanu. Kebokicak bengok kanti Bende
Tengoro ing kunu ngrapal Aji Begandan. Kebokicak ngerti playune
Surontanu. Ehladalah, playune Surontanu ndadak nyasak parine wong karang
perdesan. Ngertenono prajurit Mojopait lan wong karang perdesan kene
iki besok keno diarani Deso Parimono kaseksanan bumi lan langit, suket
lan gegodongan. Kebokicak langsung mbujung lakune Surontanu.
Ganti perjalanan Surontanu. Ing alas kunu Surontanu ape
gawe delikan. Ben ora dingerteni marang Kakang Kebokicak. Ing alas kunu
ono uwit mojo sing cacahe songo. Surontanu urung sampek klakon gawe
plindungan tiba-tiba Kebokicak dikawal prajurit Mojopait lan Surontanu
siap mentang panah. Busur panah diluncurno arepe manah Kebokicak. Ning
nyatane keno prajurit Mojopait sing cacahe songo nemoni praloyo pati.
Terus Surontanu mlayu ngulon tolek dedelikan kanggo nylametno Banteng
Tracak Kencono.
Lari. Sak mlayune Surontanu, Kebokicak tambah ngamuk,
eleng-eleng prajurit seng ngawal Kebokicak cacahe songo mati keno panahe
Surontanu. Kebokicak langsung ngomong marang sesah prajurit sing ngawal
pati, hee, prajurit sing ngawal aku kabeh ngertenono kanggo tetenger
besok rejane jaman papan kene kenek diarani Deso Mojo Songo. Mulo
prajurit saksenono. Sabanjure Kebokicak jenengake deso langsung bujung
lakune Surontanu lan Banteng Tracak Kencono.
Dua penggalan adegan di atas selanjutnya dalam tilikan sastra tutur
maupun sastra tulis menjadi rangkain plot dan konflik dari cerita geger
Kebokicak memburu Surontanu. Dari versi santri, diceritakan bahwa
tersebutlah nama Padepokan Pancuran Cukir yang kala itu diserang
pagebluk. Guru sepuh padepokan itu, Ki Ageng Sopoyono, dapat wangsit
berupa bahwa untuk mengatasi wabah itu satu-satunya cara adalah dengan
menumbalinya dengan hewan berbulu putih. Ki Ageng Sopoyono memiliki dua
murid: Ki Ageng Buwono dan Ki Ageng Pranggang. Ki Ageng Buwono memiliki
anak perempuan bernama Wandan Manguri yang dikawin oleh Pamulang Jagad.
Dari keduanya lahirlah Joko Tulus alias Kebokicak. Sementara Ki Ageng
Pranggang punya putri bernama Niluh Padmi yang bersuamikan Tumenggung
Surono. Dari keduanya lahirlah Joko Sendang atau Surontanu. Dari
peristiwa pagebluk itu, kemudian Surontanu atau Joko Sendang ditugaskan
untuk mengatasinya. Namun ia tidak bisa. Ia hanya dapat seekor banteng
yang bisa tata jalma (dapat berbicara). Banteng ini bernama
Banteng Tracak Kencana yang tubuhnya disusupi dua siluman Lirih Boyo
dan Bantang Boyo. Karena Surontanu tidak mau menyerahkan Banteng Tracak
Kencana, dan ia melarikan diri, maka Kebokicaklah yang kemudian
diperintah untuk merebut rajakaya itu. Kebokicak mempunyai ajian: Bende Tengoro (Canang Baung), Singo Begandan (Singa Pelacak), Rompi Lulang Kebo Landung (Rompi Kekebalan Kulit Kerbau), dan Gedruk Gongseng (Krimpyingan Penggedruk). Sedangkan Surontanu hanya punya Ajian Kekebalan dan Banteng Tracak Kencana.
Tukang Cerita dan Jejak Kampung
Cerita Kebokicak yang lebih masyhur salah satunya
adalah saat pengejaran Kebokicak terhadap Surontanu untuk memperebutkan
Banteng Tracak Kencana. Jejak-jejak pengejaran itu menilaskan nama-nama
kampung atau desa yang hingga kini nyata ada dan menjadi bagian
admistratif struktur pemerintahan Kabupaten Jombang. Riwayat kampung,
rangkaian pencerita dari masa ke masa, kadar orisinalitas, validitas,
pun susupan-susupan yang berkelindan, turut serta membentuk sebuah
unggunan naratif yang membuka lebar beragam sumber yang saling mengisi.
Seperti apakah para tukang cerita mengudar si cerita, yang tak lepas
dari tendensi dan subyektifitasnya, menggelar pengisahan Kebokicak dari
waktu ke waktu, hingga dari cucu ke cucu? Yang pasti, tukang cerita
bergerak di ambang yang mistis dan di sisi lain tak lebih imajinatif
belaka. Di bawah ini beberapa nama kampung atau desa yang menjadi arena
pengejaran itu:
(1) Parimono: Surontanu lari bersama Banteng
Tracak Kencono. Tibalah ia di sebuah persawahan nan luas. Kebokicak
datang bersama 9 nawabayangkari. Terkejut melihat Kebokicak, Surontanu
mengentakkan tali banteng dan nyasak pepadian yang menghampar. Kebokicak
menggeleng geram menyaksikan itu. Maka lahirlah sebutan Parimono (padi
yang disasak hingga rusak).
(2) Mojosongo: Surontanu membikin persembunyian
dari akar-akaran, ranting-ranting, dan daun-daun klaras, sementara di
sekitarnya dikitari pepohonan maja. Ia membawa panah. Kebokicak datang
bersama 9 nawabhayangkari. Pertarunganpun berkecamuk. 9 prajurit
Kebokicak binasa oleh panah Surontanu.
(3) Jambu: Surontanu terbirit-birit ke arah barat.
Mengikat bantengnya di sebuah pohon jambu milik Ki Dumadi. Belum sempat
beristirahat nyenyak, Kebokicak pun datang.
(4) Jombang: Surontanu lari ke utara. Menemukan
kolam. Ada rumah beratap jerami, alang-alang, lalu ada pemandian kerbau.
Ada cahaya ijo dan abang dari dasar kolam melesat ke langit dan
menebarkan cahaya yang terang cemerlang. Keduanya bertemu dan terjadilah
percekcokan. Pertarungan sengit. Surontanu terpukul mundur. Ia lari ke
arah timur. Kolam jadi acak-acakan.
(5) Ringincontong: Ada pohon beringin raksasa.
Seumpama ada 10 orang mengitarinya dengan membentangkan kedua tangan
maka tak bakal mencukupinya. 9 nawabhayangkari dating membantu
Kebokicak. Mereke bertempur lagi. Mereka tak kuasa mengatasi kanuragan
Surontanu. Kebokicak turun tangan. Ia mengeluarkan aji Singo Begandan,
dan Bende Tengoro. Surontanu kewalahan. Ia lari ke tenggara.
(6) Mojongapit: Ada sekelompok tayub menggelar
pertunjukan. Surontanu masuk ke situ. Menyamar. Lalu muncullah siluman
Sardulo Onggo Bliring (berupa macan loreng). Ternyata siluman ini adalah
kawan Kebokicak. Si Bliring mencekik Surontanu. Menjepit lehernya
dengan kayu randu. Surontanu meronta-ronta. Kebokicak muncul. Bliring
terkaget sebentar, dan jepitannya terlepas. Surontanu sedikit dapat
bernapas, lalu ia lari lagi ke tenggara.
(7) Sumber Peking: Tampaklah rumbukan pring yang
rimbun. Terdengar mata air yang jernih yang menggemericik deras bak
bunyi alat peking. Surontanu bermalam di situ, di sebuah rumah seorang
janda bernama Nyi Gulah. Kebokicak datang. Namun Surontanu telah pergi
ke barat kala terbit fajar.
(8) Sumber Sapon: Di pagi yang mulai terik itu ada
seorang janda menyapu halaman rumahnya, ketika Kebokicak datang dan
menanyakan padanya adakah seorang lelaki berbaju hijau lewat di situ. Si
janda mengiyakan. Sardulo Onggo Bliring yang mengikuti Kebokicak
menyarankan untuk terus mengejar. Mereka bergerak lagi dan singgah di
Desa Karang Kejambon. Kebokicak meminta Bliring untuk jalma menus
(menjadi manusia) seperti dirinya. Ini diniatkan Kebokicak untuk
sementara waktu menggantikan posisinya untuk mengatur desanya. Kebokicak
meminta penduduk agar atap rumah mereka dpasangi welit atau daduk
tebu. Bliring sendika dawuh atas perintah itu. Kebokicak bergegas mengejar Surontanu.
(9) Bantengan: Sejak mula desa ini memang bernama
Bantengan. Surontanu sembunyi di situ. Di rumahnya sendiri. Tampaknya
Niluh Padmi, ibu Surontanu, sedang memberikan sebungkus nasi pada
anaknya itu. Surontanu tak menceritakan apa yang terjadi. Sehabis makan,
ia pamit. Tak lama kemudian, Kebokicak tiba. Perbincangan singkat.
Niluh padmi terperanjat mendengar cerita Kebokicak. Ia menangis dan
meminta pada Kebokicak agar berdamai dengan Surontanu. Kebokicak
berjanji akan bertindak yang terbaik, jika Surontanu mau menyerahkan
Banteng Tracak Kencana. Lalu Niluh Padmi menunjukkan bahwa Surontanu
lari ke barat.
(10) Tamping Mojo: Ada
arak-arakan temanten yang merayakan perkawinan Joko Tamping dan Siti
Wulanjar. Surontanu menyusup ke dalam arak-arakan. Kebokicak datang
memberitahu bahwa di dalam rombongan itu ada perusuh bernama Surontanu.
Joko Tamping tahu lalu melawan Surontanu. Ia dikeplekkan Surantanu
sampai pingsan lalu mati. Siti Wulanjar menjerit-jerit sambil bersimpuh
memeluk mayat Joko Tamping. Kebokicak tertegun dan sekejap ia tak kuasa
bertindak. Cepat-cepat Surontanu kabur ke selatan.
(11) Ngrawan: Kebokicak tak segera mengejarnya. Ia
memulangkan Siti Wulanjar ke rumah orang tuanya. Lalu daerah si
pengantin malang itu diparabi Desa Ngrawan.
(12) Nglungu: Kebokicak kemalaman, dan plonga-plongo (tolah-toleh), di jalan dan melihat arah barat dengan mata ngungun. Lamunannya melendot panjang ke entah.
(13) Petengan: Kebokicak tampak putus asa, ia
duduk lesu di sebongkah bangkai kayu, langit terasa gelap menyelimuti
hatinya. Membayangkan angkasa terasa pahit dan berkabut tebal di Karang
Kejambon.
(14) Glugu: Surantanu lari ke utara. Ia menemukan glugu yang roboh melintang di kali Konto (anak sungai Brantas). Kebokicak datang. Surantanu mecetat (lari cepat) ke timur.
(15) Dukuh Klopo: Di tempat ini Surantanu
membangun benteng dari batang-batang kelapa. Pancang-pancang yang kokoh.
Kebokicak tiba. Ia lari ke timur.
(16) Tengaran: Ini tempat Surontanu memasang
umbul-umbul berwarna-warni. Kebanyakan berwarna hijau. Ketika Kebokicak
menyusul, ia kabur ke arah utara.
(17) Ndero: Surontanu memasang bendera perang warna merah. Lalu ia lari ke barat saat Kebokicak datang.
(18) Kandang Sapi: Banteng Surontanu menyelinap di
kandang sapi milik Ki Wongso. Kebokicak datang. Dialog dengan Ki
Wongso. Surontanu lari ke utara.
(19) Kedung Betik: Surontanu mandi di kedung atau telaga yang banyak ikan betiknya. Kebokicak datang. Surontanu lari ke barat.
(20) Tenggulukan: Surontanu sembunyi di Rawa
Perning. Surontanu ketemu dengan siluman Celeng Kecek yang mengusili si
banteng Tracak Kencana. Lalu Celeng Kecek dibunuh Surontanu. Kebokicak
datang. Surontanu lari ke utara. Celeng Kecek ditengguluk (dipanggul) Kebokicak, sebab ia dianggap telah membantunya, lalu dikuburkan di dekat kali Brantas.
(21) Keboan: Banyak orang mengguyang (memandikan)
kerbau. Surontanu dan Kebokicak bertarung sampai tewas di situ. Dua
siluman Bantang Boyo dan Lirih Boyo keluar dari Banteng Tracak Kencana
lalu membenamkan banteng itu di dasar kali Brantas. 9 nawabhayangkari
yang barus saja datang hendak membantu Kebokicak langsung dibinasakan
oleh dua siluman itu. Batu gilang, siluman Buntung Boyo.
Ihwal 13 Versi Kebokicak
Dari 13 versi cerita Kebokicak yang disusun mahasiswa STKIP PGRI
Jombang di atas, ada beberapa versi yang patut dicermati, selain
beberapa versi lain yang serupa. Seperti versi Joko Tulus (Kebokicak Karang Kejambon) dengan narasumber Sukono. Versi ini agak ganjil dari versi umum. Saya coba rangkum point pokoknya:
Sosok Joko Tulus berasal dari Tulungagung, dekat Gunung Kelud.
Ia ingin mengembara demi menguasai suatu wilayah di utara yakni Jombang.
Lalu dilarang ibunya, tapi ia membangkang, maka ibunya mengutuknya jadi
Kebokicak. Kebokicak ini tetap meneruskan kembara ke Jombang. Di tengah
jalan bertemu kakek sakti bernama Ki Surontanu lantas ia menjadi
gurunya. Kebokicak lalu melamar putri Majapahit (tidak disebutkan nama
sang putri) dalam bentuk sayembara. Ia menang, tapi lamarannya ditampik.
Ia balik ke padepokan Bantengan, dan diberi pusaka Kalung Kuning oleh
Ki Surontanu. Kalung ini dapat direbut oleh Putri Majapahit dengan
muslihat halus. Kebokicak tak berdaya, namun tak dibunuh dan pulang ke
Bantengan. Ki Surontanu membawanya ke Kiai Muchtar di Banyuarang untuk
disembuhkan. Ia sembuh, lalu masuk Islam. Karena di Banyuarang
terjangkit pagebluk, ia diutus Kiai Muchtar untuk pinjam pusaka Tracak
Kencana kepada Ki Surontanu sekaligus mengajaknya masuk Islam. Ki
surontanu menolak seraya nyumpah-nyumpah. Terjadilah perang tanding
antar keduanya. Ki Surontanu kalah. Pergi bertapa. Ia nantang Kebokicak
lagi dengan membawa keris saktinya dan mampu menebas leher Kebokicak.
Jasad Kebokicak digotongnya dan ditenggelamkannya ke wilayah berlumpur
di Sendang Biru.
Coba kita simak lagi versi Banteng Tracak Kencana dengan narasumber Jamadi yang saya sarikan berikut ini:
Disebutkanlah Raja Wijaya di masa Majapahit mengalami
kemunduran di bawah bayang-bayang serangan Demak. Ia memiliki selir
namanya Arum Sari. Mereka punya 3 putra: Jaka Samar, Jaka Suwana, dan
Jaka Suwandi yang tinggal di Desa Karang Jambu. Ketiga putra ini
memperdalam ilmu ke wilayah selatan di perguruan Eyang Sandi atau Kiai
Soponyono di Desa Sumonyono. Waktu belajar silat, Jaka Suwandi hilang
dan dicari-cari. Eyang Sandi mengutus Jaka Samar mencarinya. Sampai ke
utara. Menjelang petang baru ketemu. Jaka Samar marah, lalu menyemprot
adiknya itu dengan sebutan Jaran Kecek. Suatu kali Arum Sari nyambangi
mereka. Di pendapa perguruan ia menyaksikan dua pemuda berlatih tarung.
Arum Sari berteriak coba menghentikan mereka. Namun tak dipedulikan. Ia
amat jengkel dan meneriaki kelakuan mereka seperti kerbau. Seketika
salah seorang pemuda yang tampak piawai bertarung itu kepalanya menjelma
menjadi kepala kerbau. Ia tak lain adalah Jaka Samar yang kemudian
berjuluk Kebokicak yang sakti. Eyang Sandi menghadiahi Jaka Suwandi
karena budi pekertinya berupa hewan bersebut Banteng Tracak Kencana.
Suatu hari Kebokicak ingin meminang Pandan Sari. Tapi dengan syarat
harus menyerahkan Banteng Tracak Kencana. Kebokicak menyanggupi. Namun
Surontanu menolak menyerahkannya. Ia lari. Dikejar Kebokicak. Mereka
bertarung. Surontanu lari lagi. Tarung lagi. Surantanu keteter, lari ke
rawa-rawa bertebu di barat Desa Sumonyono. Dalam pengejaran Kebokicak
itu, jajaran lebat tebu itu seketika menjadi hitam warnanya sebab
pengaruh Ilmu Panglimunan Kebokicak. Jadilah kelak daerah itu diparabi
Tebu Ireng. Surontanu terus lari ke barat, istirahat di mata air yang
berwarna biru yang kemudian tempat itu bersebut Balung Biru. Lalu ia
terus berlari dan bersembunyi di jajaran rimbun pohon nangka. Daerah itu
kelak berjuluk Sumber Nangka. Kebokicak dapat mengejarnya. Tanding
lagi. Surontanu lari ke daerah utara yang dipenuhi daun talas. Bau si
banteng dapat dikenali Kebokicak di balik rimbunan daun talas dan tempat
ini kemudian bersebut Desa Bantengan. Mereka tarung lagi. Surontanu
berhasil membelah jadi dua tubuh Kebokicak. Dengan ilmu Pancasunya,
Kebokicak bangkit dari kematian dan mengubah dirinya menjadi macam
putih. Ia mengejar Surantanu kembali ke utara di daerah Karang Jambu.
Mengubah dirinya lagi menjadi manusia bersebut Sargula. Mengejar lagi.
Bertemu. Tarung lagi. Si pengejar kembali lagi ke ujud asalnya:
Kebokicak. Pertarungan makin dahsyat dan menghebat hingga memercikkan
cecahaya hijau dan merah sampai membelah langit malam yang kian
menggelap. Daerah itu karena bertabur berpercikan cahaya ijo dan abang
yang menakjubkan maka di kemudian waktu diparabi menjadi Jombang. Si
Banteng Tracak Kencana tewas terkena panah Kebokicak. Surantanu kalap.
Kebokicak juga kalap. Mereka bertarung kian menggila. Sampai sama-sama
tak berdaya. Hingga sama-sama mati keduanya.
Dalam versi cerita Telatah Surantanu,
bernarasumber Purwito, yang menyebut dirinya sebagai keturunan ke-4 dari
Surantanu, tampaknya perlu dipertanyakan. Surantanu yang mana? Adakah
kaitannya dengan asal-usul Jombang, yang sebagian besar dari 13 versi
cerita menyebut itu walau dengan fragmen, plot, dan tokoh-tokoh, tempat
kejadian, munculnya sisipan tokoh lain, nama samaran, yang perlu
dicermati kembali sebab ada yang sama juga ada yang berbeda? Pada versi
itu Surontanu dimunculkan di masa Majapahit yang mengalami penjajahan
Belanda. Ini jelas ahistoris. Lalu cerita bergeliat hingga muncul sosok
warok Suromenggolo dari Ponorogo. Lalu pada versi cerita Desa Randu Watang,
diceritakan bahwa Jaka Tulus alias Kebokicak memiliki bapak seorang
panglima bernama Siro Manggu. Akhir cerita menyebutkan soal pertarungan
kebokicak melawan Surontanu yang juga menilaskan jejak persabungan
mereka misalnya meninggalkan nama kampung Gedangan dan sungai Gelugu,
lalu muncul Walang Kecik yang memusuhi Kebokicak, juga lahir Desa
Ngemprak, perkelahian terus berlanjut ke timur lalu beralih ke utara,
sampai dua orang ini sama-sama mati di tengah-tengah pertempuran. Tubuh
mereka disaksikan orang-orang yang lewat di situ. Di antara warga ini
menggoyang-goyangkan jasad mereka dengan sebatang watang (dari ranting pohon randu) untuk membuktikan apakah mereka telah mati. Maka lahirlah Desa Randu Watang atas kejadian itu.
Bagaimanakah pembaca yang, setidaknya, pernah akrab dengan cerita
Kebokicak versi santri yang saya cuplikkan di awal menilai 2 versi lain
dari narasumber Sukono dan Jamadi? Ada kembangan cerita lain di sana,
bergerak sendiri, bersemayam jauh di kedalamannya, saling
susup-menyusupi, yang tentunya menyimpan “dunia sunyi” masing-masing
dalam ingatan kolektif sosialnya. Satu anggapan, yang sebenarnya sah-sah
saja namun terkesan gegabah, kala mengaitkan cerita Kebokicak dengan
lahirnya daerah Jombang. Tradisi lisan dan mitos tentang sosok ini
begitu dominan, walau tidak semua warga Jombang tahu. Karena itu tetap
membutuhkan kajian historis spesifik secara akademis, bukan sekadar
beranjak dari legenda untuk menautkan dan selanjutnya menemukan
titik-terang kesejarahan sebuah wilayah.
—
Cerita diambil dari:
Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang
Sumber : https://inijombang.wordpress.com/2012/09/20/sejarah-kebo-kicak-karang-kejambon/#-241
Waktu : Selasa,12 januari 2016 08:02 WIB
Azpi: Tentang Jombang, Kota Sederhana Yang Sangat Nyaman...
Azpi: Tentang Jombang, Kota Sederhana Yang Sangat Nyaman...: Kabupaten Jombang Jombang juga dikenal dengan sebutan Kota Santri , karena banyaknya sekolah pendidikan Islam (pondok pesantren...
cerdas: Mengenal budaya jawa timur
cerdas: Mengenal budaya jawa timur: Sejarah Kesenian Jawa Timur 1) Jaman Peralihan Pada seni bangunannya sudah meperlihatkan tanda – tanda gaya seni jawa timur seperti ...
Langganan:
Postingan (Atom)